Dalam pemanfaatan hasil sembelihan
qurban, seringkali kali kita saksikan beberapa hal yang dinilai kurang tepat
menurut kacamata syari’at. Beberapa pelanggaran dalam ibadah ini sering terjadi,
mungkin saja karena belum sampainya ilmu kepada orang yang melakukan ibadah
qurban. Dalam tulisan kali ini dengan taufik dan pertolongan Allah-, kami
berusaha menjelaskan bagaimana pemanfaatan hasil sembelihan qurban yang tepat
yang sesuai dengan tuntunan syari’at, juga bagaimanakah penilaian syariat
terhadap praktek kaum muslimin saat ini dalam hal jual kulit hasil sembelihan
qurban. Semoga Allah memberi kemudahan dan memberi taufik bagi siapa saja yang
membaca risalah ini.
Dari
hukum Islam, menjual daging qurban hukumnya haram. Karena itu, panitia dilarang
menjual daging qurban. Dan, yang dilarang ini sebenarnya bukan hanya
menjual dagingnya, tetapi semua yang termasuk bagian dari tubuh hewan udhiyah
hukumnya tidak boleh diperjual-belikan. Sayangnya, justru kita sering kali
menyaksikan bahwa kulit, wol, rambut, kepala, kaki, tulang dan bagian lainnya,
diperjual-belikan oleh panitia.
Mungkin
tujuannya baik, yaitu untuk membiayai proses penyembelihan, bukan untuk
dijadikan keuntungan atau upah. Namun, larangan menjual bagian-bagian tubuh itu
bersifat mutlak, tidak berubah menjadi halal hanya lantaran tujuannya untuk
kepentingan penyembelihan juga.
Dalil Larangan
Dalil terlarangnya hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra bahwa Nabi Muhammad saw bersabda:
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ
“Siapa menjual kulit hasil sembelihan qurban, maka
tidak ada qurban baginya”. (HR. Al
Hakim).
Selain
larangan dari hadits di atas, ’illat atau alasan utama kenapa menjual bagian
tubuh hewan udhiyah dilarang adalah karena qurban disembahkan sebagai bentuk
taqarrub pada Allah, yaitu mendekatkan diri pada-Nya, sehingga tidak boleh
diperjualbelikan.
Sama
halnya dengan zakat, jika harta zakat kita telah mencapai nishab (ukuran
minimal dikeluarkan zakat) dan telah memenuhi haul (masa satu tahun), maka kita
harus menyerahkannya kepada orang yang berhak menerima (mustahiq) tanpa
harus menjual kepadanya.
Jika
zakat tidak boleh demikian, maka begitu pula dengan qurban, karena sama-sama
bentuk taqarrub pada Allah. Alasan lainnya lagi adalah kita tidak diperkenankan
memberikan upah kepada jagal dari hasil sembelihan qurban.
Dari
sini, tidak tepat praktek sebagian kaum muslimin dan panitia ketika melakukan
ibadah yang satu ini (penyembelihan kurban) dengan menjual hasil qurban,
termasuk yang sering terjadi adalah menjual kulit. Bahkanm untuk menjual kulit
terdapat hadits khusus yang melarangnya.
Larangan
menjual hasil sembelihan qurban adalah pendapat para Imam Asy-Syafi’i dan Imam
Ahmad.
Imam
Asy-Syafi’i mengatakan, “Binatang qurban termasuk nusuk (hewan yang
disembelih untuk mendekatkan diri pada Allah). Hasil sembelihannya boleh
dimakan, boleh diberikan kepada orang lain dan boleh disimpan. Aku tidak
menjual sesuatu dari hasil sembelihan qurban”.
Barter
antara hasil sembelihan qurban dengan barang lainnya termasuk jual beli
sehingga barter juga dilarang. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat
dibolehkannya menjual hasil sembelihan qurban, namun hasil penjualannya
disedekahkan. Akan tetapi, yang lebih selamat dan lebih tepat, hal ini
tidak diperbolehkan berdasarkan larangan dalam hadits di atas dan alasan yang
telah disampaikan.
Catatan
penting yang perlu diperhatikan; “Pembolehan menjual hasil sembelihan qurban
oleh Abu Hanifah adalah ditukar dengan barang karena seperti ini termasuk
kategori pemanfaatan hewan qurban menurut beliau. Jadi beliau tidak memaksudkan
jual beli di sini adalah menukar dengan uang. Karena menukar dengan uang secara
jelas merupakan penjualan yang nyata. Inilah keterangan dari Syaikh Abdullah
Ali Bassam dalam Tawdhihul Ahkam dan Ash Shan’ani dalam Subulus Salam.
Sehingga,
kesimpulannya adalah tidak tepat menjual kulit atau bagian lainnya, lalu
mendapatkan uang sebagaimana yang dipraktekan sebagian panitia qurban saat ini.
Mereka sengaja menjual kulit agar dapat menutupi biaya operasional atau untuk
makan-makan panitia.
Tentang
menjual kulit qurban, para ulama berbeda pendapat:
Pertama: Tetap terlarang.
Ini
pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits di atas. Inilah pendapat yang lebih
kuat karena berpegang dengan zhahir hadits (tekstual hadits) yang melarang
menjual kulit sebagaimana disebutkan dalam riwayat Al-Hakim. Berpegang pada
pendapat ini lebih selamat, yaitu terlarangnya jual beli kulit secara mutlak.
Kedua: Boleh, asalkan ditukar dengan barang (bukan
dengan uang).
Ini
pendapat Abu Hanifah. Pendapat ini terbantah karena menukar juga termasuk jual
beli. Pendapat ini juga telah disanggah oleh Imam Asy-Syafi’i dalam kitab
Al-Umm.
Imam
Asy-Syafi’i mengatakan, “Aku tidak suka menjual daging atau kulitnya. Barter
hasil sembelihan qurban dengan barang lain juga termasuk jual beli.”
Ketiga: Boleh secara mutlak.
Ini
pendapat Abu Tsaur sebagaimana disebutkan oleh An Nawawi. Pendapat ini jelas
lemah karena bertentangan dengan zhahir hadits yang melarang menjual kulit.
Sebagai
nasehat bagi yang menjalani ibadah qurban
“hendaklah
kulit tersebut diserahkan secara cuma-cuma kepada siapa saja yang membutuhkan,
bisa kepada fakir miskin atau yayasan sosial. Setelah diserahkan kepada mereka,
terserah mereka mau manfaatkan untuk apa. Kalau yang menerima kulit tadi mau
menjualnya kembali, maka itu dibolehkan. Namun hasilnya tetap dimanfaatkan oleh
orang yang menerima kulit qurban tadi dan bukan dimanfaatkan oleh shohibul
qurban atau panitia qurban (wakil shohibul qurban). Diharamkan untuk menjual
bagian dari tubuh hewan yang telah disembelih sebagai udhiyah.
Dalam masalah menyembelih hewan qurban, kita mengenal dua pihak. Pihak pertama adalah pihak yang beribadah dengan menyembelih hewan qurban. Pihak kedua adalah mustahiq, yaitu fakir miskin yang menerima pemberian.
Dalam
masalah pembagian daging hewan qurban, kedua belah pihak sebenarnya sama-sama
berhak untuk memakannya. Jadi yang berkurban boleh makan dan yang berhak
(mustahiq) juga boleh makan. Bedanya, kalau pihak yang berqurban, hanya boleh
makan saja sebagian, tapi tidak boleh menjualnya. Misalnya, ketika menyembelih
seekor kambing, dia boleh mendapatkan misalnya satu paha untuk dimakan.
Tapi
kalau timbul niat untuk menjual paha itu ke tukang sate, meski niatnya agar
duitnya untuk diberikan kepada fakir miskin juga, secara hukum ritual qurban,
hal itu tidak bisa dibenarkan. Maka hal yang sama berlaku juga bila yang dijual
itu kulit, kaki dan kepala hewan qurban. Hukumnya tidak boleh dan merusak
sah-nya ibadah qurban.
Ketidak-bolehan
seorang yang menyembelih hewan qurban untuk menjual kulitnya bisa kita dapati
keterangannya dalam beberapa kitab. Antara lain: Kitab Al-Mauhibah jilid
halaman 697, Kitab Busyral-Kariem halaman 127, Kitab Fathul Wahhab
jilid 4 halaman 196, Kitab Asnal Matalib jilid 1 halaman 125.
Demilkian penjelasan tentang Larangan Menjual Kulit/Daging Qurban semoga bermanfaat
Sumber : Machfud Blog
Sumber : Machfud Blog
Mari berqurban dengan hewan qurban yang memenuhi syrat sah, sehat, gemuk dan tidak cacat, harus dipahami dengan baik, semoga qurban ini bermanfaat dan memberi manfaat kepada sesama dan bernilai ibadah mulia
ReplyDelete