Assalamu’alaikum Wr. Wb
Islam merupakan sekumpulan aturan sebagai
petunjuk bagi umatnya untuk menjalani kehidupan ini. Sehingga setiap laku
manusia pasti ada hukumnya termasuk menciptakan atau mendengarkan musik. Musik
adalah sebuah karya seni tempat mencurahkan hasil olah cipta rasa dan karsa.
Oleh karenanya tentu ada hukumnya.
Dalil-Dalil :
- Surah Luqman: (6): “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.”
- Surah An-Najm: (59-61): “Maka apakah kalian merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kalian menertawakan dan tidak menangis? Sedangkan kalian ber-sumud?” (Ibnu Abbas menafsirkan bahwa sumud itu adalah bernyanyi)
- Hadits Abu ‘Amir atau Abu Malik Al-Asy’ari bahwa Rasulullah saw bersabda: “Akan muncul di kalangan umatku, kaum-kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik”(HR. Al-Bukhari, 10/5590).
Ibnu Taimiyah: “Seorang hamba jika
sebagian waktunya telah tersibukkan dengan amalan yang tidak disyari’atkan, dia
pasti akan kurang bersemangat dalam melakukan hal-hal yang disyari’atkan dan
bermanfaat. Oleh karena itu, kita dapati pada orang-orang yang kesehariannya
dan santapannya tidak bisa lepas dari nyanyian, mereka pasti tidak akan begitu
merindukan lantunan suara Al Qur’an. Mereka pun tidak begitu senang ketika
mendengarnya. Mereka tidak akan merasakan kenikmatan tatkala mendengar Al Qur’an dibanding dengan mendengar
bait-bait sya’ir (nasyid). Bahkan ketika mereka mendengar Al-Qur’an, hatinya
pun menjadi lalai.”
Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam
Malik dalam kitab Mughni al-Muhtaj berpendapat bahwa mendengarkan musik
hukumnya adalah makruh.
Imam As-Syaukani dalam Naylul Authar
menyebutkan, masyarakat Madinah dan para ulama yang sependapat dengan mereka,
serta ahli sufi, memberikan keringanan dalam hal lagu, meski menggunakan alat
musik.
Abu Mansour al-Baghdadi al-Syafi’i dalam
bukunya As-Simaa’ menyebutkan, Sahabat Abdullah bin Ja’far berpendapat tidak
ada masalah dengan lagu, ia mendengarkan lagu-lagu yang dipetik hambanya. Hal
itu Ia lakukan pada masa kekhalifahan Ali ra. Begitu juga sahabat lainnya,
Kadhi Syureih, Sa’id bin al-Musayyab, Atha’ bin Abi Rabah, Az-Zuhri dan
al-Sya’bi.
Imam al-Ghazali berpendapat: mendengarkan
musik atau nyanyian tidak berbeda dengan mendengarkan perkataan atau
bunyi-bunyian yang bersumber dari makhluk hidup atau benda mati. Setiap lagu
memiliki pesan yang ingin disampaikan. Jika pesan itu baik dan mengandung
nilai-nilai keagamaan, maka tidak jauh berbeda seperti mendengar
ceramah/nasihat-nasihat keagamaan. Juga sebaliknya.
Analisa.
Al-Quran tidak menjelaskan hukum lagu
atau musik secara tegas. Dalam hal muamalah, kaidah dasarnya adalah: al-ashlu
fi al-asyaa al ibahah (segala sesuatu hukumnya adalah boleh). Batasan dari
kaidah tersebut adalah selama hal tersebut tidak bertentangan dengan hukum
Islam (syariat).
Para ulama yang mengharamkan musik
mendasarkan argumennya pada surat Luqman ayat (6) yang menyebutkan bahwa orang
yang mengucapkan perkataan yang tidak bermanfaat akan mendapatkan adzab yang
pedih. Artinya, bahwa musik yang berupa suara yang keluar dari alat musik dan
ber-ritme secara teratur bukanlah merupakan ucapan yang mengandung perkataan
jelek. Yang mengandung perkataan adalah lagu. sedangkan lagu tidak semuanya
mengandung kata-kata yang jelek atau mengarah pada perbuatan maksiat. Untuk
lagu yang mengandung kata-kata yang tidak baik dan mengarah pada perbuatan
maksiat tentu hukumnya haram, sedangkan lagu yang berisi lirik yang baik
apalagi bernada syiar, maka hukumnya boleh. Jadi yang mempengaruhi hukum musik
itu bukan musiknya, melainkan sesuatu yang lain di luar musik, seperti lirik
lagu yang berisi kata-kata yang tidak baik.
Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali,
larangan tersebut tidak ditunjukkan pada alat musiknya (seruling atau gitar),
melainkan disebabkan karena “sesuatu yang lain” (amrun kharij). Di awal-awal
Islam, kata al-Ghazali, kedua alat musik tersebut lebih dekat dimainkan di
tempat-tempat maksiat, sebagai musik pengiring pesta minuman keras.Hal ini
tentu dilarang.
Musik juga dapat menjadi makruh bahkan
bisa haram ketika membuat orang yang membuat atau mendengarkannya menjadi lalai
akan kewajibannya kepada Allah swt. Sama halnya dengan bermain game,
jalan-jalan, nonton TV bahkan bekerja akan menjadi haram jika menjadikan
seseorang lalai akan kewajibannya kepada Allah. Berbeda dengan judi, yang
meskipun tidak mengganggu waktu shalat misalnya, tapi tetap diharamkan. Karena
sekalipun al-Quran tidak menyatakan hukum judi secara tegas, tentu dilihat dari
madharatnya, hukumnya adalah haram.
Di sisi lain, kita tidak dapat
menghentikan arus globalisasi. Musik sudah terdengar di setiap sudut ruang
kehidupan kita. Jika kita tidak membuat musik alternative yang dapat
mendekatkan diri kepada Allah swt, seperti yang dilakukan oleh Opick dkk, maka
generasi kita hanya akan mendengarkan lagu-lagu cinta dan bahkan lagu-lagu
dengan lirik yang tidak mendidik.
Kesimpulan.
Musik tidak haram, yang membuat haram
adalah amrun khorij (faktor di luar) musik, seperti sebagai pengiring pesta miras,
musik erotis, musik dengan lirik lagu porno. Jadi substansinya tidak haram.
Hukum mendengarkan musik adalah
kondisional, tergantung dari untuk apa dan bagaimana efeknya. Jika dengan
mendengarkan musik menjadi lupa shalat, membaca al-Qur’an dsb yang bisa
mendekatkan diri kepada Allah, maka hukumnya adalah haram. Tapi mubah jika
sebaliknya.
Demikian penjelasan tentang hukum mendengarkan lagu atau musik dalam islam, semoga bermanfaat.
Wassalam.
mendengarkan musik hukumnya tergantung liriknya,akibatnya,kalau hanya bersifat menghibur dan tidak menimbulkan hal negatif boleh saja
ReplyDelete(m)
ReplyDelete